Dan pertemuan ini seperti mimpi…
Aku tak pernah menyangka kau akan mengenalku..
Aku tak pernah menyangka kau akan tersenyum
padaku..
Memanggil namaku…
Bahkan sesekali melirikku…
Sungguh sangat manis…
ÿÿÿ
Gadis manis itu melangkah pelan
sendirian diantara daun-daun kuning yang berguguran. Dia menunduk sambil
menjinjing tasnya, mengamati langkah kakinya. Entah apa yang dipikirkannya.
Sedari tadi ia hanya menunduk dan terus melangkah.
“Hm,” Tiba-tiba ia menggumam.
Kepalanya terangkat. Dia mulai menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
Mengamati dimana ia berada.
“Aku… dimana?” tanyanya pada dirinya
sendiri begitu menyadari tempat ini bukan tempat yang seharusnya ia tuju.
Ia berbalik arah. Aku harus cepat-cepat. Aku sudah terlambat!
Batinnya. Dia mempercepat langkahnya, menghentikan taksi dan segera menuju
tempat yang ia maksud.
ÿÿÿ
Ia berhenti tepat disebuah gedung
yang berdiri kokoh dan luas. Indah!
Kesan pertama yang ia tangkap saat melihat sekolah barunya
“Terimakasih, pak!” Gadis manis itu
menyodorkan beberapa lembar uang dan segera turun. Begitu kakinya berpijak pada
tanah, hal yang pertama dilakukannya adalah memfokuskan dirinya pada sekolah
yang indah itu. Dengan langkah pasti, ia memasuki halamannya. Kebun yang luas
dan terawat. Bunga yang mekar di setiap sudut sekolah. Halaman yang bersih. Ah,
ini benar-benar sekolah yang diimpikannya
“Aku… akan bersekolah disini, ya?”
gumamnya. Perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyuman. “Aku akan
berjuang!” tekadnya.
Sepanjang jalan yang dilaluinya,
banyak siswa dan siswi yang melihatnya heran, tapi ia tak peduli. Ia terus
melangkah dengan mantap menuju ruangan yang harus ia tuju pertama kali di sekolah ini.
Ruang BP.
ÿÿÿ
“Kamu Kirika?”
Gadis manis itu mengangguk. “Iya,
pak.”
“Ya, saya sudah menerima data
tentang siswi baru bernama Kirika. Kamu akan berada di kelas XII IPA 3. Semoga
kamu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah ini,” harap Pak Ren, guru
BP kelas XII.
“Saya juga berharap begitu,” sahut
Kirika. “Ohya, pak. Sebelum itu, kelas XII IPA 3 ada di sebelah mana?”
“Dilantai 4, disebelah
perpustakaan,”
“Baiklah kalau begitu, saya
permisi,” pamit Kirika. Dia mendorong kursi yang didudukinya ke belakang secara
perlahan. Lalu meninggalkan ruang BP dengan seulas senyum.
“Bagaimana teman-temanku nanti, ya?”
gumam Kirika penasaran. Dengan perasaan ringan ia melangkahkan kakinya menuju
kelas barunya, XII IPA 3.
ÿÿÿ
“Aku Kirika, salam kenal semuanya.
Mulai hari ini aku bersekolah disini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan
baik!” seru Kirika.
Aku
bisa! Aku berhasil mengucapkannya! Sorak Kirika dalam hati. Degup
jantungnya yang berpacu dengan detik waktu karena tegang perlahan kembali
normal.
“Baiklah, Kirika! Silahkan menempati
tempat duduk yang masih kosong,” pinta Bu Kaguya.
Kirika menundukkan kepalanya
mengerti. Ia lalu segera meninggalkan posisinya dan mengambil tempat duduk tiga
baris dari depan. Kirika duduk sendirian karena tempat duduk di sekolah ini
memang individu, satu bangku satu siswa.
“Baiklah, mari mulai pelajaran hari
ini. Buka buku biologi kalian pada bab genetika,” perintah Bu Kaguya. Semua
siswa menurut tak terkecuali Kirika. Buru-buru ia mengeluarkan buku dari dalam
tasnya sampai tasnya tak sengaja mengenai muka teman yang duduk di sebelahnya.
“Aduh!” keluh orang itu.
“Ah, maaf-maaf, aku tak sengaja,”
ujar Kirika panik.
“Lain kali hati-hati,” sahut orang
itu lalu kembali fokus pada materi yang disampaikan oleh Bu Kaguya.
Kirika menunduk dalam-dalam. Apa yang baru saja kulakukan? Ibu bilang aku
tak boleh menyakiti seorang teman saat hari pertama aku bersekolah. Tapi kenapa
aku melakukannya? Batinnya takut.
“Sudahlah, tak usah pikirkan. Aku
tak apa. Aku sudah memaafkanmu,” ucap orang itu yang menyadari sikap Kirika
berubah.
“Sekali lagi aku minta maaf,” kata
Kirika sedikit terbata. Ia memandang orang itu takut-takut sambil terus
menundukkan kepalanya.
Orang itu tersenyum. “Aku maafkan,
Kirika,”
“Ah…” Kirika terbengong. Sedikit
demi sedikit kepalanya terangkat. Ia pun ikut tersenyum. “Terimakasih,”
ÿÿÿ
“Aku Akira,”
“A..ki..ra?” eja Kirika.
Akira mangangguk. “Ohya, Kenapa kamu
pindah kesini? Kau tak suka dengan sekolahmu yang dulu?”
Kirika terkejut mendapatkan pertanyaan
seperti itu. “Bu..bukan. Bukan seperti itu,” Kirika mulai menggigit bibir bawahnya.
Ibu, apa yang harus aku katakana untuk
menjawab pertanyaan seperti ini?
“Kok bengong? Ada apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Ohya Akira, aku
mau menanyakan sesuatu padamu. Boleh?”
“Apa?” tanya Akira antusias.
“Teman itu seperti apa?” ucap Kirika
dengan wajah polosnya.
“Hempt,” Akira berusaha menahan
tawanya. “Hahahahaha,” Akhirnya bobol juga pertahanannya. “Kau tak tau teman?”
Dengan lugunya Kirika menggeleng.
“Aneh, memang kau tak punya teman?”
tanya Akira lagi.
Kirika kembali menggeleng. “Tapi aku
sering mendengarnya dari Ibu. Katanya teman itu mengasyikkan. Aku ingin punya
teman dari dulu,” cerita Kirika dengan tersenyum polosnya.
Akira terkejut. Tidak punya teman?
“Bagaimana kalau aku menjadi
temanmu?” tawar Akira sambil tersenyum manis.
Mata Kirika berbinar. “Benarkah? Kau
serius mau menjadi temanku?” tanya Kirika antusias.
Akira mengangguk. “Tentu,”
“Terimakasih. Aku akan menjaga teman
pertamaku dengan baik!” tekad Kirika sambil mengepalkan tangannya seolah ia
seorang jagoan.
Akira tertawa pelan melihat tingkah
Kirika. “Baiklah, baiklah. Sekarang ayo kita masuk kelas. Bel sudah berbunyi,”
ajak Akira sambil mengusap puncak kepala Kirika.
Deg! Itu tadi apa? Tanya kirika dalam hati sambil memegangi puncak
kepalanya yang baru saja diusap oleh Akira. Selang beberapa detik, Kirika
tersenyum. “Jadi, itu yang namanya teman, ya? Ibu benar, teman itu
mengasyikkan!” gumam Kirika lalu bergegas menyusul Akira yang sudah berjalan
mendahuluinya untuk kembali ke kelas.
ÿÿÿ
“Ibu, aku pulaaang!” teriak Kirika
begitu ia sampai di rumah. Buru-buru ia melepas sepatunya. Kirika langsung
memeluk ibunya begitu ia menemukan ibunya.
“Kau sudah pulang?” sambut ibunya.
Kirika mengangguk semangat. Sejak
tadi ia terus menampakkan wajah bahagia.
“Bagaimana hari pertamamu
bersekolah? Menyenangkan?” tanya ibunya saat meilhat roman muka anaknya yang
berseri-seri.
“Sangat menyenangkan, Bu! Dan Ibu
tau? Aku punya teman!” cerita Kirika bersemangat.
“Benarkah?”
Kirika mengangguk. “Iya. Ibu benar
tentang teman. Teman itu mengasyikkan!”
Ibunya mengangguk paham. “Kalau
begitu, Kirika harus menjaga teman Kirika itu.”
“Tentu saja, Bu!” sahut Kirika.
“Ya sudah, Kirika sekarang ganti
seragammu, lalu makan dan istirahat, jangan lupa obatnya diminum,”
“Siap, Komandan!” tanggap Kirika
sambil memberi penghormatan ala TNI pada ibunya. Ia lalu bergegas ke kamarnya
dan melakukan perintah ibunya.
Ibunya hanya tersenyum sambil
menggelengkan kepalanya. “Semoga teman itu akan membuat hidupmu lebih berwarna,
sayang.”
ÿÿÿ
Dengan langkah ringan Kirika
melewati sepanjang koridor mulai dari lantai pertama hingga lantai keempat
dimana kelasnya berada. Sepanjang jalan ia hanya memikirkan Akira, teman
pertamanya itu. Dia memikirkan banyak rencana yang sejak kemarin ia pikirkan
untuk dilakukan bersama dengan Akira.
Ibu
bilang, teman akan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Aku sudah memikirkannya
semalam. Kuharap aku bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama Akira
seperti yang kuharapkan. Harap Kirika dalam hati. Ia tersenyum membayangkan
kegembiraan yang akan menyambutnya bersama Akira saat melakukan hal-hal yang
menyenangkan.
Saking senangnya, ia sampai tak
menyadari bahwa tinggal selangkah lagi ia akan menaiki tangga di lantai ketiga.
Duk! Ia tersandung.
“Uwaaa!!!” jeritnya.
Hup! Sebuah tangan kokoh
menangkapnya sebelum tubuh mungilnya terjatuh mengenai jejeran anak tangga.
Kirika dan pemilik tangan kokoh itu saling bertatap dalam diam.
Deg! Deg! Deg! Jantung Kirika
berdegup cepat. Seketika dirasakannya pipinya yang memanas; mungkin merona.
“Lain kali kalau sedang jalan jangan
sambil melamun,” Pemilik tangan kokoh itu memperingatkan lalu membenarkan
posisi tubuh Kirika.
“Maaf, Akira. Terimakasih,” Kirika
menundukkan kepalanya, malu.
“Lain kali hati-hati! Kau tak mau
membuat temanmu ini cemas, kan?” tanya Akira setengah menggoda.
Kirika menggeleng cepat. “Maaf,”
“Yasudah, ayo ke kelas!” ajak Akira
lalu menarik tangan Kirika agar mengikutinya.
“Ah, tunggu Akira! Jangan lari! Aku…”
Akira menghentikan langkahnya tiba-tiba,
membuat Kirika yang tadi menyesuaikan derap lari Akira tertabrak punggungnya.
“Asss,” desis Kirika pelan. “Ada apa
Akira? Kenapa tiba-tiba berhenti?” tanya Kirika sambil mengusap-usap dahinya.
“Kau ke kelas duluan saja. Aku baru
ingat ada janji dengan seseorang,” ucap Akira lalu melesat pergi meninggalkan
Kirika yang terbengong-bengong.
ÿÿÿ
“Sedang apa?” tanya Akira saat
melihat tumpukan kertas origami memenuhi meja Kirika.
“Membuat origami,” jawab Kirika lalu
tersenyum. “Akira mau ikut?”
Akira menggeleng. “Seperti anak
kecil saja,” ledek Akira.
“Yasudah kalau tidak mau,” Kirika
berpaling. Dia tidak mau bersenang-senang
denganku. Batin Kirika sedih. Tangannya yang sedari tadi menggenggam kertas
origami warna-warni dengan luwes melipatnya menjadi berbagai macam bentuk.
“Kau terampil juga, ya?” komentar
Akira saat melihat hasil lipatan tangan Kirika.
Kirika diam saja, tak menyahut.
Bahkan ia tak menoleh sedikitpun. Ia terfokus pada kertas origaminya. Dunianya
sendiri.
“Kau marah?” tanya Akira saat
melihat roman muka Kirika yang agak mendung.
Kirika tetap diam.
Akira tersenyum mengerti. Digesernya
kursi yang di dudukinya ke sebelah Kirika. Tangannya terjulur, mengambil kertas
origami milik Kirika. Dengan gerakan yang sedikit lebih lambat dari Kirika ia
menyelesaikan satu burung kertas.
“Untuk temanku,” ucap Akira sambil
menyodorkan burung kertas berwarna putih pada Kirika. “Burung Kertas ini
sebagai permintaan maaf. Kau mau memaafkanku, kan?” tanya Akira.
Kirika sedikit memiringkan kepalanya
dan mulai menoleh pada Akira. Perlahan, terbentuk lengkungan di bibir merah
jambunya. Sebuah senyuman.
“Em,” sahut Kirika sambil
mengangguk. Ia mengambil burung kertas yang di sodorkan Akira.
Akira balas tersenyum.
“Terimakasih,”
Akira
mengambil lagi kertas origami milik Kirika dan mulai melipatnya.
“Mau membuat origami bersamaku?”
tanya Kirika.
Akira mengangguk. Dia kembali
menyelesaikan origami berbentuk burung kertas lagi dan menyerahkannya pada
Kirika.
“Burung Kertas lagi?” Kirika heran.
Akira mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, aku suka membuat burung kertas. Aku dan adikku di rumah sering
melakukannya di waktu senggang,” cerita Akira.
“Benarkah?”
“Em,” Akira membenarkan.
“Kapan-kapan aku boleh main ke
rumahmu, ya? Aku ingin bermain dan membuat origami bersama adikmu,” pinta
Kirika.
“Tentu,” Akira menyetujuinya.
Keduanya pun mulai melipat kertas origami yang tersisa menjadi burung kertas
warna-warni.
Akira,
perasaan apa ini? Kenapa rasanya berdebar-debar saat aku di dekatmu? Aku selalu
berharap ada di sampingmu. Berharap aku selalu melihat senyummu. Akira,
beritahu aku, perasaan apa ini?
ÿÿÿ
Tak terasa, sudah tiga bulan Kirika
bersekolah di SMU. Ibunya mulai melihat perubahan sikap dan tingkah laku
Kirika. Emosinya sangat stabil dan ia menjadi sosok yang sangat ceria. Ibunya
bernapas lega melihatnya.
“Semoga bisa terus seperti ini,
Kirika,” harap Ibunya dalam doa. Dikecupnya perlahan kening Kirika dan mengucap
selamat tidur pada putrinya yang tertidur pulas itu.
“Mimpi yang indah, sayang,” ucap
Ibunya. Dengan hati-hati, Ibunya mulai beranjak dari tempat tidur Kirika.
Sebelum membuka pintu kamar Kirika, ia melirik sebentar kea rah
putrinya—memastikan ia baik-baik saja.
“Selamat malam,” salam Ibunya dan
segera berlalu.
“Akira…” igau Kirika sambil
tersenyum. Rupanya ia bermimpi indah tentang Akira.
ÿÿÿ
“Kirika kan dekat dengan Akira. Apa
Kirika tidak suka pada Akira?” tanya Megume—teman sekelas Kirika yang duduk di
belakang Kirika.
“Su..ka? Apa itu?” tanya Kirika tak mengerti.
“Suka. Em, seperti apa, ya?” gumam
Megume. Ia sendiri bingung menjelaskannya pada Kirika.
“Pagi, Kirika! Megume!” sapa Akira
yang baru saja datang.
“Pagi,” sahut Kirika.
“P..pagi,” sahut Megume gugup.
“Sudah, ya, Kirika. Daahh!” Megume melambaikan tangannya dan pergi keluar
kelas.
“Ah, Megume, tunggu!” cegah Kirika.
Tapi terlamabat, Megume sudah terlanjur pergi.
“Eh, kenapa?” tanya Akira. Dia lalu
duduk di tempat duduknya dan meletakkan tasnya.
“Ah, tidak. Tadi aku bertanya pada
Megume tentang suka. Tapi tiba-tiba dia pergi. Jadi…”
“Suka?” ulang Akira.
Kirika mengangguk. “Akira tahu suka
itu apa?”
Akira tersenyum lalu mengusap pelan
puncak kepala Kirika. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”
Wajah Kirika tiba-tiba memerah.
Dengan cepat Kirika menunduk dan menggeleng. “A..aku hanya ingin tau,” jawab
Kirika terbata. Apa suka itu seperti yang
kurasakan ini, Akira?
“Baiklah, karena aku orang yang
baik, aku akan memberitahu adik kecil ini,”
“Aku bukan adik kecil!” sangkal
Kirika. Dia langsung cemberut.
“Maaf, maaf. Aku kan hanya
bercanda.” Akira tertawa geli melihat sikap manja Kirika.
“Iya, aku maafkan. Ayo, cepat beritahu aku apa
itu suka!” rengek Kirika.
“Sabar dulu, dong! Kamu sedang
menyukai seseorang, ya?” goda Akira. Wajah Kirika semakin memerah. Melihat
wajah Kirika yang memerah Akira tak bisa membendung tawanya. Kamu benar-benar polos, Kirika!
“Sudahlah, Akira. Jangan
menggodaku!” seru Kirika sambil memukuli Akira.
“Baiklah, baiklah. Maaf.” Akira
berusaha menghentikan tawanya. Tapi yang terjadi dia malah semakin tertawa
melihat ekspresi Kirika yang menurutnya lucu itu.
“Akiraaaa!!!” seru Kirika jengkel.
“Habis kamu lucu. Aku tidak tahan
untuk tidak tertawa,” aku Akira.
Blusshh! Wajah Kirika memerah lagi.
“Tuh, kan!” Akira tertawa lagi.
Saking jengkelnya, akhirnya Kirika
pergi meninggalkan Akira yang masih tertawa di dalam kelas.
“Kirika, mau kemana? Hahaha. Hei,
tunggu!” Akira berlari mengejar Kirika sambil memegangi perutnya yang kaku
sehabis menertawakan Kirika.
ÿÿÿ
“Jadi suka itu saat kamu bahagia
bersama seseorang. Ingin selalu melihat senyum tulus yang selalu tersungging di
bibirnya.” Jelas Akira. “Kalau menurutku, sih,”
Kirika mengangguk paham. Jadi
benar, Akira. Perasaan ini namanya suka. Aku suka Akira.
“Hei, kenapa bengong? Kamu
benar-benar sedang menyukai seseorang, ya?” goda Akira lagi.
Kirika menatap Akira. Lalu tersenyum
lebar dan mengangguk.
“Siapa, siapa?” tanya Akira
antusias. Aku tak menyangka gadis selugu dia bisa menyukai seseorang.
Wajah Kirika kembali bersemu merah.
“Ohya, Akira. Aku boleh menanyakan sesuatu lagi?”
Akira yang masih penasaran terpaksa
mengangguk mendengar pertanyaan Kirika—yang menurutnya sebagai pengalih
pembicaraan mereka.
“Apa Akira suka padaku?” tanya
Kirika lalu menunduk dalam. Mencoba meredam suara detak jantungnya yang
bergemuruh.
Akira agak terkejut mendengar
pertanyaan Kirika yang tak disangka-sangkanya. “Tentu. Aku suka Kirika yang
polos dan manis,” jawab Akira sambil tersenyum. Karena kamu temanku yang
benar-benar unik, Kirika.
Debaran jantung Kirika semakin
berpacu. Dia tak menyangka Akira akan suka padanya. Akira...juga suka
padaku? Ini bukan sebuah mimpi, kan? Dia dengan ragu menatap ke arah Akira.
Lalu pelan-pelan bibirnya bergerak mengucap terimakasih.
ÿÿÿ
Kirika tersenyum sepanjang
perjalanannya pulang. Masih terngiang dengan jelas ucapan Akira beberapa jam
yang lalu di telinganya. “Aku suka Kirika yang polos dan manis,”
Kirika berniat jalan-jalan di taman
sebelum pulang. Dia ingin berbagi dengan bunga-bunga yang sedang mekar betapa
bahagianya ia mendengar orang yang disukainya ternyata menyukainya juga. Tapi
ia tak pernah tau. Justru keputusannya saat itu akan menjadi sebuah petaka
baginya.
Tanpa sengaja, saat ia sedang
melenggang langkah ringan di dekat air mancur di pusat taman, matanya menangkap
sosok Akira yang sedang berjalan santai bersama gadis lain. Tangan Akira
meremas jemari tangan gadis itu dengan lembut. Beberapa kali Akira tampak
mengusap-usap puncak kepala gadis itu sambil tertawa lepas. Dan yang paling
menusuk hati Kirika adalah saat melihat Akira mencium kening gadis itu dengan
penuh kasih sayang.
Dada Kirika serasa penuh sesak melihat
semua itu. Tampak dari napasnya yang naik turun. Air matanya merebak, meluncur
dengan bebas menganak sungai dipipinya. Sebuah kejutan—yang bahkan Akira tak
persiapkan untuknya—sukses membuatnya sangat terkejut.
Tanpa banyak bicara Kirika lalu
meninggalkan taman dan berlari sekencang-kencangnya menuju rumahnya. Ia
berharap lari yang menguras tenaganya ini akan menguras air mata dan rasa sakit
yang menyesakkannya juga.
Kenapa jadi seperti ini, Akira?
Apa kamu bohong tentang perasaan sukamu padaku itu? Kenapa kamu membiarkanku
berharap pada ucapanmu beberapa saat yang lalu? Kenapa, Akira?
Sampainya dirumah Kirika langsung
masuk dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Dia menangis,
menumpahkan segala sesak dan rasa sakitnya dibawah bantal kesayangannya. Ibunya
terkejut mendapati Kirika pulang dengan berlarian dan penuh air mata.
“Ada apa, sayang?” tanya Ibu Kirika
sambil duduk di tepi tempat tidur Kirika dan mengelus-elus pinggul Kirika.
Kirika yang mendengar suara ibunya
langsung bangun dari tidurnya lalu memeluk tubuh ibunya erat. Menangis di bahu
ibunya.
Belum hilang rasa terkejut dan
khawatirnya, ibunya dikejutkan kembali dengan perlakuan Kirika barusan. Dengan
lembut diusapnya bahu Kirika. Berharap bisa sedikit menenangkan Kirika yang
menangis sesenggukan dalam pelukannya.
“Ada apa, sayang? Cerita pada ibu
apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ibu Kirika halus.
Kirika tak bersuara. Rasa sesak dan
sakit itu membuatnya tak mampu untuk mengatakan apapun pada ibunya. Dia hanya
diam. Hanya air matanya yang terus mengalir tanpa henti.
Ibunya kini mengerti. Dia membiarkan
posisinya tetap seperti itu. Dia menunggu Kirika tenang meskipun hatinya cemas
luar biasa. Dia takut terjadi apa-apa pada putri semata wayangnya ini.
“I...bu...”
ÿÿÿ
Akira punya kebiasaan baru tiga hari
ini: menatap cemas ke arah pintu—menunggu kedatangan Kirika. Sudah tiga hari
Kirika absen dari kelas dan tak ada seorangpun yang tau apa yang terjadi
padanya.
Kau kenapa, Kirika? Kenapa tak
memberi kabar padaku? Batin Akira cemas.
Tett! Tett! Tett! Bel masuk telah
berbunyi. Akira kembali kecewa. Kirika tidak masuk lagi hari ini. Padahal dia
ingin berbagi cerita dengan Kirika soal dia yang telah berpacaran dengan
Haruka.
Mungkin aku bisa meminta data Kirika di ruang BP nanti.
Harap Akira. Setitik harapan muncul baginya untuk mengetahui keberadaan Kirika
karena ia tidak punya satupun informasi tentang Kirika—alamat, bahkan nomor
teleponnya.
ÿÿÿ
Kirika asyik bergelut dengan kertas
origami warna-warni di kamarnya. Tumpukan burung kertas menggunung di lantai
dekat tempat tidurnya. Entah ada berapa buah. Mungkin sudah ratusan. Setelah
kejadian beberapa hari lalu yang membuat kondisinya drop dan harus di
rawat di sebuah Rumah Sakit, Kirika terus membuat burung kertas dari kertas
origami miliknya. Bahkan ia bilang pada dokter untuk segera memulangkannya
sehari setelah dirinya dirawat; dia tidak betah berada di Rumah Sakit.
Drrtt! Drrtt! Ponsel di meja samping
tempat tidur Kirika bergetar. Kirika melirik sekilas ke arah layar ponselnya.
Satu pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya. Tangannya terulur mengambil
ponsel lalu menekan tombol ‘OK’ untuk membaca pesan itu.
From
: +6287876xxx
Bagaimana
keadaanmu? Aku cemas sekali kau absen 4 hari ini. Kau sakit?
Akira^^
Bola mata Kirika membola begitu ia
membaca nama Akira tertera di pesan itu. Akira, orang yang telah memberi
harapan palsu padanya. Akira, orang yang telah menghancurkan hatinya. Akira,
orang yang sekarang tak ingin ditemuinya.
“Sayang, istirahat dulu, ya? Kamu
tidak capek daritadi bermain kertas origami?” tanya ibunya yang masuk
tiba-tiba.
Kirika yang menyadari kehadiran
ibunya buru-buru meletakkan ponsel dan menggeleng. “Nanti saja. Kirika harus
menyelesaikan burung kertas ini hingga mencapai seribu.” Jawab Kirika dan
menekuni kertas origaminya lagi.
“Tapi makan dulu, ya?”
Kirika mengangguk. Ibunya tersenyum,
kemudian meninggalkan Kirika menuju dapur. Menyiapkan makan untuk Kirika.
Drrtt! Drrtt! Ponselnya bergetar
lagi. Dari nomor yang sama.
From
: +6287876xxx
Kau
marah? Kenapa pesanku tak kau balas? Aku minta maaf jika aku punya salah padamu.
Setelah berpikir lama akhirnya
jari-jari Kirika mulai menari diatas keypad ponselnya. Mengetik pesan
balasan.
To
: +6287876xxx
Tidak.
Tak usah minta maaf. Maaf membuatmu cemas. Aku baik-baik saja.
From
: +6287876xxx
Syukurlah
kalau begitu. J
Dikelas
sepi tanpa kamu.
To
: Akira-kun (+6287876xxx)
Memangnya
kenapa?
From
: Akira-kun (+6287876xxx)
Teman
terbaikku tidak ada, sih! J
Ohya,
kamu perlu tau berita hebat ini!
Aku...
baru saja berpacaran dengan Haruka! Rasanya aku bahagia sekali menjadi pacar
seorang gadis yang kuidamkan selama ini. :D
Deg! Jantung Kirika seakan berhenti
berdetak mendengar penuturan Akira. Air mata mulai bergerumul di pelupuk
matanya. Jadi... Akira... Aku...
ÿÿÿ
Akira
menatap lesu keluar jendela kelasnya. Langit biru dan awan putih yang
bergulung-gulung. Semilir angin menerpa kulitnya dan membuat rambutnya yang
agak panjang itu melambai-lambai. Ditangannya tergenggam burung kertas putih
yang diberikannya pada Kirika beberapa bulan yang lalu.
Akira
menghela napas berat. Sangat berat. Matanya kemudian beralih pada burung kertas
digenggamannya. Burung kertas yang didapatnya tiga hari yang lalu dari ibu
Kirika saat ia mengunjungi Kirika untuk pertama kalinya.
ÿÿÿ
Sudah
seminggu sejak Akira mengirimkan pesan singkat permintaan maaf pada Kirika.
Selama itu pula Kirika masih belum nampak dimanapun. Akira mendesah gelisah.
Apalagi sekarang Kirika sudah tak pernah membalas pesan yang dikirimkannya.
Ada apa denganmu, Kirika? Batin
Akira sedih. Selama ini ia kira ia tak ada masalah apapun dengan Kirika. Tapi
kenapa Kirika tak memberinya kabar apapun? Apa terjadi sesuatu?
Akira
menghela napas panjang. Mungkin ia harus menengok Kirika nanti dan menanyakan
apa alasannya dia tak masuk selama beberapa hari ini. Digenggamnya erat secarik
kertas bertuliskan alamat Kirika.
Kirika, semoga benar kau
baik-baik saja. Harap Akira.
ÿÿÿ
Dengan
meremas tangan Haruka karena hatinya berdebar tak menentu, Akira mengetuk pintu
rumah Kirika pelan.
Tok!
Tok! Tok!
Tak
lama pintu terbuka dan sesosok wanita paruh baya muncul dibaliknya.
“Maaf,
mencari siapa?” tanya wanita itu yang sedikit terkejut melihat seorang
muda-mudi menyambanginya.
“Apa
Kirika ada, Bi?” tanya Akira sedikit terbata.
Wanita
itu terperanjat. Namun ia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya. Ia
mengangguk paham. “Kamu pasti Akira,” ucap Ibu Kirika yakin.
Akira
mengangguk membenarkan. “Iya, saya Akira dan ini Haruka,” Akira memperkenalkan
Haruka yang berdiri mematung disampingnya.
Haruka
tersenyum manis seolah-olah itu adalah salam perkenalan.
“Mari
masuk,” ajak Ibu Kirika. Akira dan Haruka menurut. Mereka mengekori Ibu Kirika
memasuki rumah mungil Kirika.
“Silahkan
duduk. Sebentar, Bibi ambilkan minum,” Ibu Kirika mempersilakan. Ia lalu
bergegas menuju dapur membuatkan minum untuk kedua tamunya.
Haruka
mengamati sekeliling. Tempat yang sangat asing baginya. “Kenapa disini sepi
sekali, Akira?” tanya Haruka sedikit takut.
“Silahkan
diminum,” Belum sempat Akira menjawab Ibu Kirika telah menyajikan minuman
untuknya dan Haruka.
“Anu,
Bi..”
“Hm,”
sahut Ibu Kirika mendengar Akira memanggilnya.
“Itu…
Apa Kirika sakit? Sudah seminggu lebih ia absen. Kalau iya, bolehkan saya
menengoknya?” pinta Akira sedikit ragu.
Ibu
Kirika terdiam, mematung. Kepalanya sedikit tertunduk.
Akira
yang melihat hal itu menjadi heran. Ada apa sebenarnya?
“Bi..?”
panggil Akira.
“Ah,”
Ibu Kirika segera tersadar. “I..iya, kamu boleh menengoknya. Dia ada
dikamarnya.” Ucap Ibu Kirika dengan suara sedikit parau.
Akira
memberikan isyarat pada Haruka. Meminta izin untuk menjenguk Kirika.
Haruka
mengangguk mengiyakan. Melihat isyarat balasan dari Haruka, Akira segera
berlalu mengekori Ibu Kirika menuju kamar Kirika.
ÿÿÿ
Kamar
Kirika dipenuhi tumpukan burung kertas warna-warni yang membuat Akira terkejut
begitu ia membuka pintunya. Tapi yang lebih mengejutkannya adalah saat ia
melihat foto Kirika yang berbingkai dan tercetak dengan ukuran besar digantungi
bunga krisan.
“Apa…maksudnya
ini?” gumam Akira bingung bercampur kaget. Ia menoleh ke arah Ibu Kirika
bermaksud meminta penjelasan. Tapi yang hendak dimintainya penjelasan kini
menangis terisak. Tangisan pilu.
“Bibi…
Ada apa? Kenapa bibi menangis?” tanya Akira khawatir. “Dan itu,” Akira menunjuk
ke arah foto Kirika dengan bunga krisan yang menggantung disana. “Itu apa
maksudnya? Kirika tidak mungkin…”
Sekonyong-konyong
Ibu Kirika menyodorkan burung kertas putih pada Akira. Akira yang bingung dan
tak mengerti menerima burung kertas itu sambil masih terus bertanya-tanya ada
apa dengan Kirika.
“Maafkan
Kirika yang selama ini terus merepotkanmu, Akira. Terimakasih telah menjaga
Kirika selama ini.” Ucap Ibu Kirika disela-sela tangisnya.
Akira
terbengong untuk beberapa saat. “Bibi. Katakan padaku ada apa sebenarnya? Mana
Kirika?” tanya Akira menggebu. Dadanya mulai sesak. Pikirannya dipenuhi
pernyataan-pernyataan aneh mengenai Kirika. Ia bingung, kalut.
Ibu
Kirika tak sanggup bicara. Ia hanya diam sambil terus menangis. Hal ini membuat
kecemasan yang menyesakkan dada Akira itu semakin bertambah dan menumpuk. Air
matanya pun ikut terdorong keluar, membasahi pipinya.
“Bibi.
Jangan diam saja! Mana Kirika? Kirika sedang ada di Rumah Sakit? Iya?” sentak
Akira sambil mengguncang bahu Ibu Kirika.
Ibu
Kirika menggeleng.
Akira
mulai putus asa. Air matanya terus saja mengalir tak mau berhenti. Seakan-akan
bisa membaca air mata Ibu Kirika yang juga menganak sungai dipipinya. “Lalu
Kirika ada dimana? Oh, Akira tau. Dia sudah sembuh dan sedang keluar rumah
membeli sesuatu. Iya, kan, Bi?”
Ibu
Kirika kembali menggeleng.
“Jangan
bercanda, Bi! Akira serius, Kirika ada dimana?” sentak Akira lagi. Perlahan
hatinya mulai menyetujui pikiran-pikiran aneh yang berseliweran di benaknya.
“Kirika…”
suara Ibu Kirika tercekat. Terhalang tangisannya. Akira menanti dengan tidak
sabar kelanjutan perkataan Ibu Kirika. Ia tak bisa mendengar suaranya, hanya
bisa melihat gerakan bibir Ibu Kirika yang bergetar menahan tangis.
“Kirika…
dia…” lagi-lagi suara Ibu Kirika tercekat.
Mengertilah
Akira sekarang. Tumpukan burung kertas warna-warni. Kamar Kirika yang tanpa
penghuni. Foto Kirika yang digantungi bunga Krisan. Tangisan Ibu Kirika.
Perasaan sesak didadanya. Air mata yang terus meleleh dipipinya. Kirika yang
menghilang.
Dalam
hitungan detik tubuh Akira merosot ke lantai. Lututnya lemas, tak kuat menopang
tubuhnya. Dengan wajah tak percaya ia menggenggam burung kertas berwarna putih
ditangannya. Burung kertas yang dibuatnya untuk Kirika sebagai permintaan maaf.
Kirika… selamat jalan,
teman.
ÿÿÿ
Untuk Akira,
Rasanya pertemuan kita bagaikan
mimpi, Akira.
Kirika tak pernah menyangka akan bisa
mengenal Akira di sisa hidup Kirika yang sangat singkat ini.
Kirika tak pernah menyangka bisa
memiliki teman yang sangat baik seperti Akira di ujung penghabisan napas Kirika.
Aku sangat senang waktu kita bisa
menjadi teman dan selalu bersama, Akira.
Kau mengajariku banyak hal yang
bahkan Ibu tak ajarkan padaku. Seperti tentang apa itu ‘suka’.
Ya, entah bagaimana caranya, aku
bahagia selalu bersamamu dan ingin selalu melihat senyummu. Senyum tulus Akira
untuk Kirika. Senyum yang selalu menguatkan Kirika. Senyum yang selalu
dinantikan Kirika.
Kirika juga sangat senang saat Akira
bilang suka. Tapi, ternyata Kirika salah sangka. Akira suka pada Kirika bukan
seperti Kirika suka pada Akira. Akira suka pada orang lain, Haruka.
Seribu burung kertas di kamar Kirika,
Kirika buat untuk meminta satu permohonan. “Semoga Akira bahagia bersama Haruka
meski tanpa Kirika”
Maaf karena tak pernah memberitahu
Akira. Kirika sakit. Kata Ibu jantung Kirika ada kelainan. Entah apa namanya
Kirika tak mengerti. Sangat susah untuk diucapkan. Dan itu alasan Kirika tak
bisa menjawab pertanyaan akira saat kita pertama bertemu. Bukan Kirika tidak
betah ada di sekolah. Tapi Ibu tak pernah membiarkan Kirika sekolah. Dan karena
alasan itulah Kirika tak pernah punya teman.
Terimakasih, Akira. Kirika sangat
senang memiliki teman sebaik Akira. Terimakasih telah mau menjadi teman Kirika.
Akira adalah teman pertama dan terakhir Kirika yang sangaaatt baik.
Salam untuk Haruka, semoga kalian
bersama dan berbahagia selamanya.
Salam Perpisahan,
Kirika Kurosuke
“Selamat
jalan, Kirika. Berbahagialah engkau di surga sana,” gumam Akira di tengah
linangan air matanya saat ia membaca pesan Kirika yang tertulis di burung
kertas putih pemberian Ibu Kirika.
Kirika,
gadis lugu dan manis yang disukai Akira. Gadis yang menjadi teman yang sangat
berarti bagi Akira.
Kini
Akira harus melepasnya pergi. Pergi ke tempat yang tak bisa dijangkaunya. Pergi
ke tempat dimana Akira tak bisa melihat senyum Kirika lagi. Pergi ke tempat
dimana mereka tak bisa bersama lagi. Pergi untuk selama-lamanya.
ÿÿÿ
Akira, aku suka kamu. Kamu juga suka
aku, kan?
END
(Karya : Arni Al - Hilmah)