Aku menghela napas untuk kesekian
kalinya. Gelisah. Berkali-kali kulongokkan kepalaku untuk memastikan satu hal;
dia datang. Setiap detik tak henti-hentinya kulirik jam hitam dipergelangan
tanganku. Kenapa lama sekali? Apa dia lupa?
Aku mulai putus asa. Mungkin dia
memang lupa dan tak akan pernah datang. Aku berniat melangkah pergi sampai
akhirnya aku mengurungkan niatku begitu melihatnya di ambang pintu berjalan
tergopoh-gopoh ke arahku. Tangannya menggenggam buku fisika yang mulai kucel.
Aku tersenyum lalu duduk kembali. Dalam hati aku bersorak senang. Dia
datang! Yeay!
“Udah nunggu lama? Maaf ya, tadi aku
sholat ashar dulu,” ujarnya lembut. Suaranya begitu merdu di indera
pendengaranku. Dia tersenyum sekilas. Menampakkan dekik lesung pipinya.
Membuatku leleh seketika.
“I..iya, nggak apa-apa, kok,”
jawabku sedikit terbata.
“Yauda, mau nanya apa?” tanyanya to
the point. Dia meletakkan buku fisika kucelnya diatas meja—disamping
buku-bukuku yang kubuka lebar.
“Yang ini, kak!” sahutku semangat
sambil menunjukkan soal latihan yang tidak kubisa. Aku segera mempersiapkan
buku kosong dan pensilku.
“Oh, yang ini.” Dia segera meraih
pensil dan bukuku lalu mulai menyoret-coretnya dengan beberapa macam rumus. Aku
mendengarkan sambil sesekali curi-curi pandang padanya. Dia terlihat makin
tampan kalau sedang serius. Hihihi.
“Sudah paham?” tanyanya tiba-tiba.
Aku yang tidak siap dengan
pertanyaan itu langsung gelagapan. “Ah..eh..belum. Hehehe,” Aku terkekeh pelan.
Duh, malunya aku.
“Yasudah, sini aku jelasin lagi.”
Dia menggeser duduknya sedikit mendekat ke arahku. Jantungku tiba-tiba berdetak
cepat. Aduh, kak. Jangan dekat-dekat nanti aku malah nggak bisa konsen.
“Sudah paham?” tanyanya lagi.
Aku beringsut. Mengangguk sambil
menundukkan kepalaku. Menyembunyikan rona merah diwajahku. Aku malu kalau
sampai dia melihatnya. Nanti aku ditanyai macam-macam lagi.
“Yasudah, kak. Aku permisi dulu.
Makasih,” Aku terburu-buru membereskan barang milikku dan bergegas pergi
sebelum ia menyadari ada yang aneh denganku.
'''
Namanya Fefen. Ketua OSIS paling
kece dan punya kharisma berlebih. Dia misterius, senyumnya maut, jago fisika,
taat ibadah, dan segudang kelebihan lain yang bikin aku tak bisa berpaling
darinya.
Aku mulai berani mendekatinya
semenjak acara wawancaraku dengannya demi majalah sekolah. Dari situ sedikit
demi sedikit aku lebih mengenalnya. Dia sosok yang sangat ramah dan gemar bercanda.
Tapi itu dulu. Sekarang dia lebih jaim di depan siswa-siswi sekolah.
Aku sempat mengiriminya pesan
singkat yang isinya basa-basi. Sekedar penasaran apa dia akan meresponku atau
tidak. Dan ternyata dia memang merespon, tapi balasan yang kuterima sangat-sangat
lama. Aku bahkan sampai jamuran menunggunya.
Ingin sekali aku mengatakan “Aku
suka kamu, Kak” padanya. Tapi setelah kupikir lagi, apa aku sudah gila?
Menyatakan cinta pada Ketua OSIS? Ide terburuk yang pernah aku pikirkan. Aku
tidak mau menjadikan hubungan yang baik dan lumayan dekat ini—menurutku—menjadi
renggang dengan pernyataan bodoh itu. Ah, seandainya semuanya tidak sesulit
ini.
Aku menghela napas frustasi. Perasaan
ini membuatku merasa sulit. Dipendam salah, diutarakan tambah salah. Aku
bertopang dagu sambil menatap binderku yang penuh dengan goresan namanya
dalam tinta emas.
“Fefen-Senpai, Watashi wa Anata o
Aishite,”
“Bagiku, cukup dengan melihat
senyummu. Aku bahagia, F”
Tanganku mulai mengaduk-aduk tempat
pensil—mencari bolpoin—untuk kembali menuliskan apa yang aku rasakan dan
pikirkan tentang Kak Fefen. Tapi kuurungkan begitu aku mendengar suara
keributan diluar. Dengan rasa penasaran khas wartawan majalah aku melangkahkan
kaki mendekati kerumunan itu. Aku berjinjit mencoba memperoleh jarak pandang
yang bagus. Ada apa, sih?
“Eh, ternyata Ketua OSIS kita punya adik
kelas cewek yang disukai loh! Mau tau, nggak?” Telingaku tiba-tiba menangkap
suara Kak Adi—teman sekelas Kak Fefen—dari speaker.
Kurasakan jantungku mulai memompa
cepat. Siapa? Siapa? Siapa? Rasanya aku ingin segera mendengarkan
kelanjutan ucapan Kak Adi tapi aku juga tak ingin mendengarkannya. Ah, aku jadi
bingung!
“Mauuuuu!!!” Terdengar koor panjang
dan serentak dari seluruh siswa-siswi yang berkumpul di depan kelas, memenuhi
koridor.
“Yakin?” tanya Kak Adi
memanas-manasi.
“Yakiinn!!” sahut semuanya.
“Apa sih lo, Di! Udah, ah! Malu
gue!” samar-samar terdengar suara Kak Fefen yang sedang mengomeli Kak Adi.
“Haha, nggak apa-apa lah, Fen. Kan
asyik juga tuh kalau dia dengerin. Sekalian tembak aja,” Kak Adi menanggapinya
dengan santai diiringi tawa kecilnya. Aku yang mendengarnya jadi dag dig dug
sendiri. Apa cewek itu aku? Ah, mikir apaan, sih? Jelas nggak mungkin
banget!
“Setuju nggak kalau Ketua OSIS kita
ungkapin perasaannya ke cewek itu?”
“Setujuuu!!”
Aku bisa merasakan dadaku
bergemuruh. Aku menahan napas. Siapa? Siapa cewek beruntung itu?
“Namanya....”
BLARR!!! Sebuah kilat menyambar dan
hanya terdengar bunyi nging panjang dari mikrofon yang membuat telinga
pengang. Tiba-tiba hujan deras datang dan semuanya lenyap. Berhamburan menuju
kelas mereka masing-masing.
Aku mendengus. Acaranya gagal, nih?
Tsk! Udah dibelain deg-degan juga. Ah! Menyebalkan! Jadi, cewek beruntung itu
masih tetap rahasia. Yah, rahasia. Rahasia antara Kak Fefen, Kak Adi, dan
Tuhan.
END
0 komentar:
Posting Komentar