MANZIL Pict

What we know is a drop, what we don't know is an ocean. Newton

MANZIL Pict

Plato is my friend, Aristotle is my friend, but my greatest friend is truth. Newton

MANZIL Pict

No great discovery was ever made without a bold guess. Newton

MANZIL Pict

Nature is pleased with simplicity. And nature is no dummy. Newton

MANZIL Pict

If I have seen further than others, it is by standing upon the shoulders of giants. Newton

Pages

Selasa, 07 Januari 2014

Surat Dari Annisa

          ‘Jika aku  memang,  tercipta  untukmu… ku’kan  memilikimu’
          Aku  menatapnya  sendu.  Dia  nampak  kelelahan  setelah  bermain  futsal  hampir  sejam.  Aku  berniat  memberinya  minuman  namun  niat  itu  harus  kuurungkan  saat  mengingat  statusku  yang  hanya  teman  masa  lalunya.

Surat  Dari  Annisa

          Akupun  beranjak  dari  bangku  kantin  dan  beranjak  menuju  kelasku  yang  berada  disamping  kelasnya.  Dengan  buku  Matematika  yang  sedaritadi  kubawa,  aku  melangkah  menjauh  dari  kantin  yang  berada  didepan  lapangan  futsal  SMA  Unggulan  Pertiwi.
          Aku  menatap  ke  arah  Andra,  teman  masa  laluku  yang  sangat  kukagumi.  Entah  mengapa  aku  bisa  jatuh  hati  pada  orang  yang  samasekali  tak  pernah  mempedulikanku.  Padahal  ada  David,  ketua  basket  yang  banyak  disegani  oleh  kaum  hawa  SMA Unggulan  Pertiwi  yang  amat  perhatian  padaku.

*

       

Senin, 06 Januari 2014

Autumn


“Dan  disitulah  aku mulai  mengenal  dan mencintaimu. Musim  gugur  di hutan  meple  yang rindang  dan  tenang”

Autumn

          Aku  memejamkan kedua  mataku.  Merasakan  ketenangan yang  kurasakan  pada musim  gugurku  yang ke  29.  Aku  sangat menyukai  musim  gugur. Dari  4  musim yang  ada  di  Kanada,  hanya Musim  gugurlah  yang paling  ku  suka.

          Aroma khas pohon  meple  yang tumbuh  di  pekarangan rumahku  di  Québec, Kanada  menyebar  disetiap sudut  rumah  kecilku ini.  Aku  menikmati aroma  kesukaanku  ini. Aroma  pohon meple  yang  biasanya menjadi  parfumku  setiap hari.  Aku  menikmatinya hingga  larut  kedalam masa  lalu.  Dimana  aku pertama  kali  bertemu dengan  seseorang  yang membuat  hatiku  tak karuan.

        

Kak Fefen

            Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Gelisah. Berkali-kali kulongokkan kepalaku untuk memastikan satu hal; dia datang. Setiap detik tak henti-hentinya kulirik jam hitam dipergelangan tanganku. Kenapa lama sekali? Apa dia lupa?
            Aku mulai putus asa. Mungkin dia memang lupa dan tak akan pernah datang. Aku berniat melangkah pergi sampai akhirnya aku mengurungkan niatku begitu melihatnya di ambang pintu berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. Tangannya menggenggam buku fisika yang mulai kucel. Aku tersenyum lalu duduk kembali. Dalam hati aku bersorak senang. Dia datang! Yeay!
            “Udah nunggu lama? Maaf ya, tadi aku sholat ashar dulu,” ujarnya lembut. Suaranya begitu merdu di indera pendengaranku. Dia tersenyum sekilas. Menampakkan dekik lesung pipinya. Membuatku leleh seketika.
            “I..iya, nggak apa-apa, kok,” jawabku sedikit terbata.
            “Yauda, mau nanya apa?” tanyanya to the point. Dia meletakkan buku fisika kucelnya diatas meja—disamping buku-bukuku yang kubuka lebar.
            “Yang ini, kak!” sahutku semangat sambil menunjukkan soal latihan yang tidak kubisa. Aku segera mempersiapkan buku kosong dan pensilku.
            “Oh, yang ini.” Dia segera meraih pensil dan bukuku lalu mulai menyoret-coretnya dengan beberapa macam rumus. Aku mendengarkan sambil sesekali curi-curi pandang padanya. Dia terlihat makin tampan kalau sedang serius. Hihihi.
            “Sudah paham?” tanyanya tiba-tiba.
            Aku yang tidak siap dengan pertanyaan itu langsung gelagapan. “Ah..eh..belum. Hehehe,” Aku terkekeh pelan. Duh, malunya aku.
            “Yasudah, sini aku jelasin lagi.” Dia menggeser duduknya sedikit mendekat ke arahku. Jantungku tiba-tiba berdetak cepat. Aduh, kak. Jangan dekat-dekat nanti aku malah nggak bisa konsen.
            “Sudah paham?” tanyanya lagi.
            Aku beringsut. Mengangguk sambil menundukkan kepalaku. Menyembunyikan rona merah diwajahku. Aku malu kalau sampai dia melihatnya. Nanti aku ditanyai macam-macam lagi.
            “Yasudah, kak. Aku permisi dulu. Makasih,” Aku terburu-buru membereskan barang milikku dan bergegas pergi sebelum ia menyadari ada yang aneh denganku.

'''

            Namanya Fefen. Ketua OSIS paling kece dan punya kharisma berlebih. Dia misterius, senyumnya maut, jago fisika, taat ibadah, dan segudang kelebihan lain yang bikin aku tak bisa berpaling darinya.
            Aku mulai berani mendekatinya semenjak acara wawancaraku dengannya demi majalah sekolah. Dari situ sedikit demi sedikit aku lebih mengenalnya. Dia sosok yang sangat ramah dan gemar bercanda. Tapi itu dulu. Sekarang dia lebih jaim di depan siswa-siswi sekolah.
            Aku sempat mengiriminya pesan singkat yang isinya basa-basi. Sekedar penasaran apa dia akan meresponku atau tidak. Dan ternyata dia memang merespon, tapi balasan yang kuterima sangat-sangat lama. Aku bahkan sampai jamuran menunggunya.
            Ingin sekali aku mengatakan “Aku suka kamu, Kak” padanya. Tapi setelah kupikir lagi, apa aku sudah gila? Menyatakan cinta pada Ketua OSIS? Ide terburuk yang pernah aku pikirkan. Aku tidak mau menjadikan hubungan yang baik dan lumayan dekat ini—menurutku—menjadi renggang dengan pernyataan bodoh itu. Ah, seandainya semuanya tidak sesulit ini.
           Aku menghela napas frustasi. Perasaan ini membuatku merasa sulit. Dipendam salah, diutarakan tambah salah. Aku bertopang dagu sambil menatap binderku yang penuh dengan goresan namanya dalam tinta emas.
            “Fefen-Senpai, Watashi wa Anata o Aishite,
            “Bagiku, cukup dengan melihat senyummu. Aku bahagia, F
            Tanganku mulai mengaduk-aduk tempat pensil—mencari bolpoin—untuk kembali menuliskan apa yang aku rasakan dan pikirkan tentang Kak Fefen. Tapi kuurungkan begitu aku mendengar suara keributan diluar. Dengan rasa penasaran khas wartawan majalah aku melangkahkan kaki mendekati kerumunan itu. Aku berjinjit mencoba memperoleh jarak pandang yang bagus. Ada apa, sih?
            “Eh, ternyata Ketua OSIS kita punya adik kelas cewek yang disukai loh! Mau tau, nggak?” Telingaku tiba-tiba menangkap suara Kak Adi—teman sekelas Kak Fefen—dari speaker.
            Kurasakan jantungku mulai memompa cepat. Siapa? Siapa? Siapa? Rasanya aku ingin segera mendengarkan kelanjutan ucapan Kak Adi tapi aku juga tak ingin mendengarkannya. Ah, aku jadi bingung!
            “Mauuuuu!!!” Terdengar koor panjang dan serentak dari seluruh siswa-siswi yang berkumpul di depan kelas, memenuhi koridor.
            “Yakin?” tanya Kak Adi memanas-manasi.
            “Yakiinn!!” sahut semuanya.
            “Apa sih lo, Di! Udah, ah! Malu gue!” samar-samar terdengar suara Kak Fefen yang sedang mengomeli Kak Adi.
            “Haha, nggak apa-apa lah, Fen. Kan asyik juga tuh kalau dia dengerin. Sekalian tembak aja,” Kak Adi menanggapinya dengan santai diiringi tawa kecilnya. Aku yang mendengarnya jadi dag dig dug sendiri. Apa cewek itu aku? Ah, mikir apaan, sih? Jelas nggak mungkin banget!
            “Setuju nggak kalau Ketua OSIS kita ungkapin perasaannya ke cewek itu?”
            “Setujuuu!!”
            Aku bisa merasakan dadaku bergemuruh. Aku menahan napas. Siapa? Siapa cewek beruntung itu?
            “Namanya....”
            BLARR!!! Sebuah kilat menyambar dan hanya terdengar bunyi nging panjang dari mikrofon yang membuat telinga pengang. Tiba-tiba hujan deras datang dan semuanya lenyap. Berhamburan menuju kelas mereka masing-masing.
            Aku mendengus. Acaranya gagal, nih? Tsk! Udah dibelain deg-degan juga. Ah! Menyebalkan! Jadi, cewek beruntung itu masih tetap rahasia. Yah, rahasia. Rahasia antara Kak Fefen, Kak Adi, dan Tuhan.


END

(Arni)

Pesan Dari Burung Kertas

Dan pertemuan ini seperti mimpi…
Aku tak pernah menyangka kau akan mengenalku..
Aku tak pernah menyangka kau akan tersenyum padaku..
Memanggil namaku…
Bahkan sesekali melirikku…
Sungguh sangat manis…

ÿÿÿ

            Gadis manis itu melangkah pelan sendirian diantara daun-daun kuning yang berguguran. Dia menunduk sambil menjinjing tasnya, mengamati langkah kakinya. Entah apa yang dipikirkannya. Sedari tadi ia hanya menunduk dan terus melangkah.
            “Hm,” Tiba-tiba ia menggumam. Kepalanya terangkat. Dia mulai menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mengamati dimana ia berada.
            “Aku… dimana?” tanyanya pada dirinya sendiri begitu menyadari tempat ini bukan tempat yang seharusnya ia tuju.
            Ia berbalik arah. Aku harus cepat-cepat. Aku sudah terlambat! Batinnya. Dia mempercepat langkahnya, menghentikan taksi dan segera menuju tempat yang ia maksud.

ÿÿÿ

            Ia berhenti tepat disebuah gedung yang berdiri kokoh dan luas. Indah! Kesan pertama yang ia tangkap saat melihat sekolah barunya
            “Terimakasih, pak!” Gadis manis itu menyodorkan beberapa lembar uang dan segera turun. Begitu kakinya berpijak pada tanah, hal yang pertama dilakukannya adalah memfokuskan dirinya pada sekolah yang indah itu. Dengan langkah pasti, ia memasuki halamannya. Kebun yang luas dan terawat. Bunga yang mekar di setiap sudut sekolah. Halaman yang bersih. Ah, ini benar-benar sekolah yang diimpikannya
            “Aku… akan bersekolah disini, ya?” gumamnya. Perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyuman. “Aku akan berjuang!” tekadnya.
            Sepanjang jalan yang dilaluinya, banyak siswa dan siswi yang melihatnya heran, tapi ia tak peduli. Ia terus melangkah dengan mantap menuju ruangan yang harus ia tuju pertama kali di sekolah ini. Ruang BP.

ÿÿÿ

            “Kamu Kirika?”
            Gadis manis itu mengangguk. “Iya, pak.”
            “Ya, saya sudah menerima data tentang siswi baru bernama Kirika. Kamu akan berada di kelas XII IPA 3. Semoga kamu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah ini,” harap Pak Ren, guru BP kelas XII.
            “Saya juga berharap begitu,” sahut Kirika. “Ohya, pak. Sebelum itu, kelas XII IPA 3 ada di sebelah mana?”
            “Dilantai 4, disebelah perpustakaan,”
            “Baiklah kalau begitu, saya permisi,” pamit Kirika. Dia mendorong kursi yang didudukinya ke belakang secara perlahan. Lalu meninggalkan ruang BP dengan seulas senyum.
            “Bagaimana teman-temanku nanti, ya?” gumam Kirika penasaran. Dengan perasaan ringan ia melangkahkan kakinya menuju kelas barunya, XII IPA 3.

ÿÿÿ

            “Aku Kirika, salam kenal semuanya. Mulai hari ini aku bersekolah disini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik!” seru Kirika.
            Aku bisa! Aku berhasil mengucapkannya! Sorak Kirika dalam hati. Degup jantungnya yang berpacu dengan detik waktu karena tegang perlahan kembali normal.
            “Baiklah, Kirika! Silahkan menempati tempat duduk yang masih kosong,” pinta Bu Kaguya.
            Kirika menundukkan kepalanya mengerti. Ia lalu segera meninggalkan posisinya dan mengambil tempat duduk tiga baris dari depan. Kirika duduk sendirian karena tempat duduk di sekolah ini memang individu, satu bangku satu siswa.
            “Baiklah, mari mulai pelajaran hari ini. Buka buku biologi kalian pada bab genetika,” perintah Bu Kaguya. Semua siswa menurut tak terkecuali Kirika. Buru-buru ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya sampai tasnya tak sengaja mengenai muka teman yang duduk di sebelahnya.
            “Aduh!” keluh orang itu.
            “Ah, maaf-maaf, aku tak sengaja,” ujar Kirika panik.
            “Lain kali hati-hati,” sahut orang itu lalu kembali fokus pada materi yang disampaikan oleh Bu Kaguya.
            Kirika menunduk dalam-dalam. Apa yang baru saja kulakukan? Ibu bilang aku tak boleh menyakiti seorang teman saat hari pertama aku bersekolah. Tapi kenapa aku melakukannya? Batinnya takut.
            “Sudahlah, tak usah pikirkan. Aku tak apa. Aku sudah memaafkanmu,” ucap orang itu yang menyadari sikap Kirika berubah.
            “Sekali lagi aku minta maaf,” kata Kirika sedikit terbata. Ia memandang orang itu takut-takut sambil terus menundukkan kepalanya.
            Orang itu tersenyum. “Aku maafkan, Kirika,”
            “Ah…” Kirika terbengong. Sedikit demi sedikit kepalanya terangkat. Ia pun ikut tersenyum. “Terimakasih,”

ÿÿÿ

            “Aku Akira,”
            “A..ki..ra?” eja Kirika.
            Akira mangangguk. “Ohya, Kenapa kamu pindah kesini? Kau tak suka dengan sekolahmu yang dulu?”
            Kirika terkejut mendapatkan pertanyaan seperti itu. “Bu..bukan. Bukan seperti itu,” Kirika mulai menggigit bibir bawahnya. Ibu, apa yang harus aku katakana untuk menjawab pertanyaan seperti ini?
            “Kok bengong? Ada apa?”
            “Ah, bukan apa-apa. Ohya Akira, aku mau menanyakan sesuatu padamu. Boleh?”
            “Apa?” tanya Akira antusias.
            “Teman itu seperti apa?” ucap Kirika dengan wajah polosnya.
            “Hempt,” Akira berusaha menahan tawanya. “Hahahahaha,” Akhirnya bobol juga pertahanannya. “Kau tak tau teman?”
            Dengan lugunya Kirika menggeleng.
            “Aneh, memang kau tak punya teman?” tanya Akira lagi.
            Kirika kembali menggeleng. “Tapi aku sering mendengarnya dari Ibu. Katanya teman itu mengasyikkan. Aku ingin punya teman dari dulu,” cerita Kirika dengan tersenyum polosnya.
            Akira terkejut. Tidak punya teman?
            “Bagaimana kalau aku menjadi temanmu?” tawar Akira sambil tersenyum manis.
            Mata Kirika berbinar. “Benarkah? Kau serius mau menjadi temanku?” tanya Kirika antusias.
            Akira mengangguk. “Tentu,”
            “Terimakasih. Aku akan menjaga teman pertamaku dengan baik!” tekad Kirika sambil mengepalkan tangannya seolah ia seorang jagoan.
            Akira tertawa pelan melihat tingkah Kirika. “Baiklah, baiklah. Sekarang ayo kita masuk kelas. Bel sudah berbunyi,” ajak Akira sambil mengusap puncak kepala Kirika.
            Deg! Itu tadi apa? Tanya kirika dalam hati sambil memegangi puncak kepalanya yang baru saja diusap oleh Akira. Selang beberapa detik, Kirika tersenyum. “Jadi, itu yang namanya teman, ya? Ibu benar, teman itu mengasyikkan!” gumam Kirika lalu bergegas menyusul Akira yang sudah berjalan mendahuluinya untuk kembali ke kelas.

ÿÿÿ

            “Ibu, aku pulaaang!” teriak Kirika begitu ia sampai di rumah. Buru-buru ia melepas sepatunya. Kirika langsung memeluk ibunya begitu ia menemukan ibunya.
            “Kau sudah pulang?” sambut ibunya.
            Kirika mengangguk semangat. Sejak tadi ia terus menampakkan wajah bahagia.
            “Bagaimana hari pertamamu bersekolah? Menyenangkan?” tanya ibunya saat meilhat roman muka anaknya yang berseri-seri.
            “Sangat menyenangkan, Bu! Dan Ibu tau? Aku punya teman!” cerita Kirika bersemangat.
            “Benarkah?”
            Kirika mengangguk. “Iya. Ibu benar tentang teman. Teman itu mengasyikkan!”
            Ibunya mengangguk paham. “Kalau begitu, Kirika harus menjaga teman Kirika itu.”
            “Tentu saja, Bu!” sahut Kirika.
            “Ya sudah, Kirika sekarang ganti seragammu, lalu makan dan istirahat, jangan lupa obatnya diminum,”
            “Siap, Komandan!” tanggap Kirika sambil memberi penghormatan ala TNI pada ibunya. Ia lalu bergegas ke kamarnya dan melakukan perintah ibunya.
            Ibunya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Semoga teman itu akan membuat hidupmu lebih berwarna, sayang.”

ÿÿÿ

            Dengan langkah ringan Kirika melewati sepanjang koridor mulai dari lantai pertama hingga lantai keempat dimana kelasnya berada. Sepanjang jalan ia hanya memikirkan Akira, teman pertamanya itu. Dia memikirkan banyak rencana yang sejak kemarin ia pikirkan untuk dilakukan bersama dengan Akira.
            Ibu bilang, teman akan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Aku sudah memikirkannya semalam. Kuharap aku bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama Akira seperti yang kuharapkan. Harap Kirika dalam hati. Ia tersenyum membayangkan kegembiraan yang akan menyambutnya bersama Akira saat melakukan hal-hal yang menyenangkan.
            Saking senangnya, ia sampai tak menyadari bahwa tinggal selangkah lagi ia akan menaiki tangga di lantai ketiga.
            Duk! Ia tersandung.
            “Uwaaa!!!” jeritnya.
            Hup! Sebuah tangan kokoh menangkapnya sebelum tubuh mungilnya terjatuh mengenai jejeran anak tangga. Kirika dan pemilik tangan kokoh itu saling bertatap dalam diam.
            Deg! Deg! Deg! Jantung Kirika berdegup cepat. Seketika dirasakannya pipinya yang memanas; mungkin merona.
            “Lain kali kalau sedang jalan jangan sambil melamun,” Pemilik tangan kokoh itu memperingatkan lalu membenarkan posisi tubuh Kirika.
            “Maaf, Akira. Terimakasih,” Kirika menundukkan kepalanya, malu.
            “Lain kali hati-hati! Kau tak mau membuat temanmu ini cemas, kan?” tanya Akira setengah menggoda.
            Kirika menggeleng cepat. “Maaf,”
            “Yasudah, ayo ke kelas!” ajak Akira lalu menarik tangan Kirika agar mengikutinya.
            “Ah, tunggu Akira!  Jangan lari! Aku…”
            Akira menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Kirika yang tadi menyesuaikan derap lari Akira tertabrak punggungnya.
            “Asss,” desis Kirika pelan. “Ada apa Akira? Kenapa tiba-tiba berhenti?” tanya Kirika sambil mengusap-usap dahinya.
            “Kau ke kelas duluan saja. Aku baru ingat ada janji dengan seseorang,” ucap Akira lalu melesat pergi meninggalkan Kirika yang terbengong-bengong.

ÿÿÿ

            “Sedang apa?” tanya Akira saat melihat tumpukan kertas origami memenuhi meja Kirika.
            “Membuat origami,” jawab Kirika lalu tersenyum. “Akira mau ikut?”
            Akira menggeleng. “Seperti anak kecil saja,” ledek Akira.
            “Yasudah kalau tidak mau,” Kirika berpaling. Dia tidak mau bersenang-senang denganku. Batin Kirika sedih. Tangannya yang sedari tadi menggenggam kertas origami warna-warni dengan luwes melipatnya menjadi berbagai macam bentuk.
            “Kau terampil juga, ya?” komentar Akira saat melihat hasil lipatan tangan Kirika.
            Kirika diam saja, tak menyahut. Bahkan ia tak menoleh sedikitpun. Ia terfokus pada kertas origaminya. Dunianya sendiri.
            “Kau marah?” tanya Akira saat melihat roman muka Kirika yang agak mendung.
            Kirika tetap diam.
            Akira tersenyum mengerti. Digesernya kursi yang di dudukinya ke sebelah Kirika. Tangannya terjulur, mengambil kertas origami milik Kirika. Dengan gerakan yang sedikit lebih lambat dari Kirika ia menyelesaikan satu burung kertas.
            “Untuk temanku,” ucap Akira sambil menyodorkan burung kertas berwarna putih pada Kirika. “Burung Kertas ini sebagai permintaan maaf. Kau mau memaafkanku, kan?” tanya Akira.
            Kirika sedikit memiringkan kepalanya dan mulai menoleh pada Akira. Perlahan, terbentuk lengkungan di bibir merah jambunya. Sebuah senyuman.
            “Em,” sahut Kirika sambil mengangguk. Ia mengambil burung kertas yang di sodorkan Akira.
            Akira balas tersenyum. “Terimakasih,”
Akira mengambil lagi kertas origami milik Kirika dan mulai melipatnya.
            “Mau membuat origami bersamaku?” tanya Kirika.
            Akira mengangguk. Dia kembali menyelesaikan origami berbentuk burung kertas lagi dan menyerahkannya pada Kirika.
            “Burung Kertas lagi?” Kirika heran.
            Akira mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku suka membuat burung kertas. Aku dan adikku di rumah sering melakukannya di waktu senggang,” cerita Akira.
            “Benarkah?”
            “Em,” Akira membenarkan.
            “Kapan-kapan aku boleh main ke rumahmu, ya? Aku ingin bermain dan membuat origami bersama adikmu,” pinta Kirika.
            “Tentu,” Akira menyetujuinya. Keduanya pun mulai melipat kertas origami yang tersisa menjadi burung kertas warna-warni.
            Akira, perasaan apa ini? Kenapa rasanya berdebar-debar saat aku di dekatmu? Aku selalu berharap ada di sampingmu. Berharap aku selalu melihat senyummu. Akira, beritahu aku, perasaan apa ini?

ÿÿÿ

            Tak terasa, sudah tiga bulan Kirika bersekolah di SMU. Ibunya mulai melihat perubahan sikap dan tingkah laku Kirika. Emosinya sangat stabil dan ia menjadi sosok yang sangat ceria. Ibunya bernapas lega melihatnya.
            “Semoga bisa terus seperti ini, Kirika,” harap Ibunya dalam doa. Dikecupnya perlahan kening Kirika dan mengucap selamat tidur pada putrinya yang tertidur pulas itu.
            “Mimpi yang indah, sayang,” ucap Ibunya. Dengan hati-hati, Ibunya mulai beranjak dari tempat tidur Kirika. Sebelum membuka pintu kamar Kirika, ia melirik sebentar kea rah putrinya—memastikan ia baik-baik saja.
            “Selamat malam,” salam Ibunya dan segera berlalu.
            “Akira…” igau Kirika sambil tersenyum. Rupanya ia bermimpi indah tentang Akira.

ÿÿÿ

            “Kirika kan dekat dengan Akira. Apa Kirika tidak suka pada Akira?” tanya Megume—teman sekelas Kirika yang duduk di belakang Kirika.
            “Su..ka? Apa itu?” tanya Kirika tak mengerti.
            “Suka. Em, seperti apa, ya?” gumam Megume. Ia sendiri bingung menjelaskannya pada Kirika.
            “Pagi, Kirika! Megume!” sapa Akira yang baru saja datang.
            “Pagi,” sahut Kirika.
            “P..pagi,” sahut Megume gugup. “Sudah, ya, Kirika. Daahh!” Megume melambaikan tangannya dan pergi keluar kelas.
            “Ah, Megume, tunggu!” cegah Kirika. Tapi terlamabat, Megume sudah terlanjur pergi.
            “Eh, kenapa?” tanya Akira. Dia lalu duduk di tempat duduknya dan meletakkan tasnya.
            “Ah, tidak. Tadi aku bertanya pada Megume tentang suka. Tapi tiba-tiba dia pergi. Jadi…”
            “Suka?” ulang Akira.
            Kirika mengangguk. “Akira tahu suka itu apa?”
            Akira tersenyum lalu mengusap pelan puncak kepala Kirika. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”
            Wajah Kirika tiba-tiba memerah. Dengan cepat Kirika menunduk dan menggeleng. “A..aku hanya ingin tau,” jawab Kirika terbata. Apa suka itu seperti yang kurasakan ini, Akira?
            “Baiklah, karena aku orang yang baik, aku akan memberitahu adik kecil ini,”
            “Aku bukan adik kecil!” sangkal Kirika. Dia langsung cemberut.
            “Maaf, maaf. Aku kan hanya bercanda.” Akira tertawa geli melihat sikap manja Kirika.
            “Iya, aku maafkan. Ayo, cepat beritahu aku apa itu suka!” rengek Kirika.
            “Sabar dulu, dong! Kamu sedang menyukai seseorang, ya?” goda Akira. Wajah Kirika semakin memerah. Melihat wajah Kirika yang memerah Akira tak bisa membendung tawanya. Kamu benar-benar polos, Kirika!
            “Sudahlah, Akira. Jangan menggodaku!” seru Kirika sambil memukuli Akira.
            “Baiklah, baiklah. Maaf.” Akira berusaha menghentikan tawanya. Tapi yang terjadi dia malah semakin tertawa melihat ekspresi Kirika yang menurutnya lucu itu.
            “Akiraaaa!!!” seru Kirika jengkel.
            “Habis kamu lucu. Aku tidak tahan untuk tidak tertawa,” aku Akira.
            Blusshh! Wajah Kirika memerah lagi.
            “Tuh, kan!” Akira tertawa lagi.
            Saking jengkelnya, akhirnya Kirika pergi meninggalkan Akira yang masih tertawa di dalam kelas.
            “Kirika, mau kemana? Hahaha. Hei, tunggu!” Akira berlari mengejar Kirika sambil memegangi perutnya yang kaku sehabis menertawakan Kirika.

ÿÿÿ

            “Jadi suka itu saat kamu bahagia bersama seseorang. Ingin selalu melihat senyum tulus yang selalu tersungging di bibirnya.” Jelas Akira. “Kalau menurutku, sih,”
            Kirika mengangguk paham. Jadi benar, Akira. Perasaan ini namanya suka. Aku suka Akira.
            “Hei, kenapa bengong? Kamu benar-benar sedang menyukai seseorang, ya?” goda Akira lagi.
            Kirika menatap Akira. Lalu tersenyum lebar dan mengangguk.
            “Siapa, siapa?” tanya Akira antusias. Aku tak menyangka gadis selugu dia bisa menyukai seseorang.
            Wajah Kirika kembali bersemu merah. “Ohya, Akira. Aku boleh menanyakan sesuatu lagi?”
            Akira yang masih penasaran terpaksa mengangguk mendengar pertanyaan Kirika—yang menurutnya sebagai pengalih pembicaraan mereka.
            “Apa Akira suka padaku?” tanya Kirika lalu menunduk dalam. Mencoba meredam suara detak jantungnya yang bergemuruh.
            Akira agak terkejut mendengar pertanyaan Kirika yang tak disangka-sangkanya. “Tentu. Aku suka Kirika yang polos dan manis,” jawab Akira sambil tersenyum. Karena kamu temanku yang benar-benar unik, Kirika.
            Debaran jantung Kirika semakin berpacu. Dia tak menyangka Akira akan suka padanya. Akira...juga suka padaku? Ini bukan sebuah mimpi, kan? Dia dengan ragu menatap ke arah Akira. Lalu pelan-pelan bibirnya bergerak mengucap terimakasih.

ÿÿÿ

            Kirika tersenyum sepanjang perjalanannya pulang. Masih terngiang dengan jelas ucapan Akira beberapa jam yang lalu di telinganya. “Aku suka Kirika yang polos dan manis,”
            Kirika berniat jalan-jalan di taman sebelum pulang. Dia ingin berbagi dengan bunga-bunga yang sedang mekar betapa bahagianya ia mendengar orang yang disukainya ternyata menyukainya juga. Tapi ia tak pernah tau. Justru keputusannya saat itu akan menjadi sebuah petaka baginya.
            Tanpa sengaja, saat ia sedang melenggang langkah ringan di dekat air mancur di pusat taman, matanya menangkap sosok Akira yang sedang berjalan santai bersama gadis lain. Tangan Akira meremas jemari tangan gadis itu dengan lembut. Beberapa kali Akira tampak mengusap-usap puncak kepala gadis itu sambil tertawa lepas. Dan yang paling menusuk hati Kirika adalah saat melihat Akira mencium kening gadis itu dengan penuh kasih sayang.
            Dada Kirika serasa penuh sesak melihat semua itu. Tampak dari napasnya yang naik turun. Air matanya merebak, meluncur dengan bebas menganak sungai dipipinya. Sebuah kejutan—yang bahkan Akira tak persiapkan untuknya—sukses membuatnya sangat terkejut.
            Tanpa banyak bicara Kirika lalu meninggalkan taman dan berlari sekencang-kencangnya menuju rumahnya. Ia berharap lari yang menguras tenaganya ini akan menguras air mata dan rasa sakit yang menyesakkannya juga.
            Kenapa jadi seperti ini, Akira? Apa kamu bohong tentang perasaan sukamu padaku itu? Kenapa kamu membiarkanku berharap pada ucapanmu beberapa saat yang lalu? Kenapa, Akira?
            Sampainya dirumah Kirika langsung masuk dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Dia menangis, menumpahkan segala sesak dan rasa sakitnya dibawah bantal kesayangannya. Ibunya terkejut mendapati Kirika pulang dengan berlarian dan penuh air mata.
            “Ada apa, sayang?” tanya Ibu Kirika sambil duduk di tepi tempat tidur Kirika dan mengelus-elus pinggul Kirika.
            Kirika yang mendengar suara ibunya langsung bangun dari tidurnya lalu memeluk tubuh ibunya erat. Menangis di bahu ibunya.
            Belum hilang rasa terkejut dan khawatirnya, ibunya dikejutkan kembali dengan perlakuan Kirika barusan. Dengan lembut diusapnya bahu Kirika. Berharap bisa sedikit menenangkan Kirika yang menangis sesenggukan dalam pelukannya.
            “Ada apa, sayang? Cerita pada ibu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ibu Kirika halus.
            Kirika tak bersuara. Rasa sesak dan sakit itu membuatnya tak mampu untuk mengatakan apapun pada ibunya. Dia hanya diam. Hanya air matanya yang terus mengalir tanpa henti.
            Ibunya kini mengerti. Dia membiarkan posisinya tetap seperti itu. Dia menunggu Kirika tenang meskipun hatinya cemas luar biasa. Dia takut terjadi apa-apa pada putri semata wayangnya ini.
            “I...bu...”

ÿÿÿ

            Akira punya kebiasaan baru tiga hari ini: menatap cemas ke arah pintu—menunggu kedatangan Kirika. Sudah tiga hari Kirika absen dari kelas dan tak ada seorangpun yang tau apa yang terjadi padanya.
            Kau kenapa, Kirika? Kenapa tak memberi kabar padaku? Batin Akira cemas.
            Tett! Tett! Tett! Bel masuk telah berbunyi. Akira kembali kecewa. Kirika tidak masuk lagi hari ini. Padahal dia ingin berbagi cerita dengan Kirika soal dia yang telah berpacaran dengan Haruka.
            Mungkin aku bisa meminta data Kirika di ruang BP nanti. Harap Akira. Setitik harapan muncul baginya untuk mengetahui keberadaan Kirika karena ia tidak punya satupun informasi tentang Kirika—alamat, bahkan nomor teleponnya.

ÿÿÿ

            Kirika asyik bergelut dengan kertas origami warna-warni di kamarnya. Tumpukan burung kertas menggunung di lantai dekat tempat tidurnya. Entah ada berapa buah. Mungkin sudah ratusan. Setelah kejadian beberapa hari lalu yang membuat kondisinya drop dan harus di rawat di sebuah Rumah Sakit, Kirika terus membuat burung kertas dari kertas origami miliknya. Bahkan ia bilang pada dokter untuk segera memulangkannya sehari setelah dirinya dirawat; dia tidak betah berada di Rumah Sakit.
            Drrtt! Drrtt! Ponsel di meja samping tempat tidur Kirika bergetar. Kirika melirik sekilas ke arah layar ponselnya. Satu pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya. Tangannya terulur mengambil ponsel lalu menekan tombol ‘OK’ untuk membaca pesan itu.

From : +6287876xxx
Bagaimana keadaanmu? Aku cemas sekali kau absen 4 hari ini. Kau sakit?

Akira^^

            Bola mata Kirika membola begitu ia membaca nama Akira tertera di pesan itu. Akira, orang yang telah memberi harapan palsu padanya. Akira, orang yang telah menghancurkan hatinya. Akira, orang yang sekarang tak ingin ditemuinya.
            “Sayang, istirahat dulu, ya? Kamu tidak capek daritadi bermain kertas origami?” tanya ibunya yang masuk tiba-tiba.
            Kirika yang menyadari kehadiran ibunya buru-buru meletakkan ponsel dan menggeleng. “Nanti saja. Kirika harus menyelesaikan burung kertas ini hingga mencapai seribu.” Jawab Kirika dan menekuni kertas origaminya lagi.
            “Tapi makan dulu, ya?”
            Kirika mengangguk. Ibunya tersenyum, kemudian meninggalkan Kirika menuju dapur. Menyiapkan makan untuk Kirika.
            Drrtt! Drrtt! Ponselnya bergetar lagi. Dari nomor yang sama.

From : +6287876xxx
Kau marah? Kenapa pesanku tak kau balas? Aku minta maaf jika aku punya salah padamu.

            Setelah berpikir lama akhirnya jari-jari Kirika mulai menari diatas keypad ponselnya. Mengetik pesan balasan.

To : +6287876xxx
Tidak. Tak usah minta maaf. Maaf membuatmu cemas. Aku baik-baik saja.

From : +6287876xxx
Syukurlah kalau begitu. J
Dikelas sepi tanpa kamu.

To : Akira-kun (+6287876xxx)
Memangnya kenapa?

From : Akira-kun (+6287876xxx)
Teman terbaikku tidak ada, sih! J
Ohya, kamu perlu tau berita hebat ini!
Aku... baru saja berpacaran dengan Haruka! Rasanya aku bahagia sekali menjadi pacar seorang gadis yang kuidamkan selama ini. :D

            Deg! Jantung Kirika seakan berhenti berdetak mendengar penuturan Akira. Air mata mulai bergerumul di pelupuk matanya. Jadi... Akira... Aku...

ÿÿÿ

            Akira menatap lesu keluar jendela kelasnya. Langit biru dan awan putih yang bergulung-gulung. Semilir angin menerpa kulitnya dan membuat rambutnya yang agak panjang itu melambai-lambai. Ditangannya tergenggam burung kertas putih yang diberikannya pada Kirika beberapa bulan yang lalu.
            Akira menghela napas berat. Sangat berat. Matanya kemudian beralih pada burung kertas digenggamannya. Burung kertas yang didapatnya tiga hari yang lalu dari ibu Kirika saat ia mengunjungi Kirika untuk pertama kalinya.

ÿÿÿ

            Sudah seminggu sejak Akira mengirimkan pesan singkat permintaan maaf pada Kirika. Selama itu pula Kirika masih belum nampak dimanapun. Akira mendesah gelisah. Apalagi sekarang Kirika sudah tak pernah membalas pesan yang dikirimkannya.
            Ada apa denganmu, Kirika? Batin Akira sedih. Selama ini ia kira ia tak ada masalah apapun dengan Kirika. Tapi kenapa Kirika tak memberinya kabar apapun? Apa terjadi sesuatu?
            Akira menghela napas panjang. Mungkin ia harus menengok Kirika nanti dan menanyakan apa alasannya dia tak masuk selama beberapa hari ini. Digenggamnya erat secarik kertas bertuliskan alamat Kirika.
            Kirika, semoga benar kau baik-baik saja. Harap Akira.

ÿÿÿ

            Dengan meremas tangan Haruka karena hatinya berdebar tak menentu, Akira mengetuk pintu rumah Kirika pelan.
            Tok! Tok! Tok!
            Tak lama pintu terbuka dan sesosok wanita paruh baya muncul dibaliknya.
            “Maaf, mencari siapa?” tanya wanita itu yang sedikit terkejut melihat seorang muda-mudi menyambanginya.
            “Apa Kirika ada, Bi?” tanya Akira sedikit terbata.
            Wanita itu terperanjat. Namun ia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya. Ia mengangguk paham. “Kamu pasti Akira,” ucap Ibu Kirika yakin.
            Akira mengangguk membenarkan. “Iya, saya Akira dan ini Haruka,” Akira memperkenalkan Haruka yang berdiri mematung disampingnya.
            Haruka tersenyum manis seolah-olah itu adalah salam perkenalan.
            “Mari masuk,” ajak Ibu Kirika. Akira dan Haruka menurut. Mereka mengekori Ibu Kirika memasuki rumah mungil Kirika.
            “Silahkan duduk. Sebentar, Bibi ambilkan minum,” Ibu Kirika mempersilakan. Ia lalu bergegas menuju dapur membuatkan minum untuk kedua tamunya.
            Haruka mengamati sekeliling. Tempat yang sangat asing baginya. “Kenapa disini sepi sekali, Akira?” tanya Haruka sedikit takut.
            “Silahkan diminum,” Belum sempat Akira menjawab Ibu Kirika telah menyajikan minuman untuknya dan Haruka.
            “Anu, Bi..”
            “Hm,” sahut Ibu Kirika mendengar Akira memanggilnya.
            “Itu… Apa Kirika sakit? Sudah seminggu lebih ia absen. Kalau iya, bolehkan saya menengoknya?” pinta Akira sedikit ragu.
            Ibu Kirika terdiam, mematung. Kepalanya sedikit tertunduk.
            Akira yang melihat hal itu menjadi heran. Ada apa sebenarnya?
            “Bi..?” panggil Akira.
            “Ah,” Ibu Kirika segera tersadar. “I..iya, kamu boleh menengoknya. Dia ada dikamarnya.” Ucap Ibu Kirika dengan suara sedikit parau.
            Akira memberikan isyarat pada Haruka. Meminta izin untuk menjenguk Kirika.
            Haruka mengangguk mengiyakan. Melihat isyarat balasan dari Haruka, Akira segera berlalu mengekori Ibu Kirika menuju kamar Kirika.

ÿÿÿ

            Kamar Kirika dipenuhi tumpukan burung kertas warna-warni yang membuat Akira terkejut begitu ia membuka pintunya. Tapi yang lebih mengejutkannya adalah saat ia melihat foto Kirika yang berbingkai dan tercetak dengan ukuran besar digantungi bunga krisan.
            “Apa…maksudnya ini?” gumam Akira bingung bercampur kaget. Ia menoleh ke arah Ibu Kirika bermaksud meminta penjelasan. Tapi yang hendak dimintainya penjelasan kini menangis terisak. Tangisan pilu.
            “Bibi… Ada apa? Kenapa bibi menangis?” tanya Akira khawatir. “Dan itu,” Akira menunjuk ke arah foto Kirika dengan bunga krisan yang menggantung disana. “Itu apa maksudnya? Kirika tidak mungkin…”
            Sekonyong-konyong Ibu Kirika menyodorkan burung kertas putih pada Akira. Akira yang bingung dan tak mengerti menerima burung kertas itu sambil masih terus bertanya-tanya ada apa dengan Kirika.
            “Maafkan Kirika yang selama ini terus merepotkanmu, Akira. Terimakasih telah menjaga Kirika selama ini.” Ucap Ibu Kirika disela-sela tangisnya.
            Akira terbengong untuk beberapa saat. “Bibi. Katakan padaku ada apa sebenarnya? Mana Kirika?” tanya Akira menggebu. Dadanya mulai sesak. Pikirannya dipenuhi pernyataan-pernyataan aneh mengenai Kirika. Ia bingung, kalut.
            Ibu Kirika tak sanggup bicara. Ia hanya diam sambil terus menangis. Hal ini membuat kecemasan yang menyesakkan dada Akira itu semakin bertambah dan menumpuk. Air matanya pun ikut terdorong keluar, membasahi pipinya.
            “Bibi. Jangan diam saja! Mana Kirika? Kirika sedang ada di Rumah Sakit? Iya?” sentak Akira sambil mengguncang bahu Ibu Kirika.
            Ibu Kirika menggeleng.
            Akira mulai putus asa. Air matanya terus saja mengalir tak mau berhenti. Seakan-akan bisa membaca air mata Ibu Kirika yang juga menganak sungai dipipinya. “Lalu Kirika ada dimana? Oh, Akira tau. Dia sudah sembuh dan sedang keluar rumah membeli sesuatu. Iya, kan, Bi?”
            Ibu Kirika kembali menggeleng.
            “Jangan bercanda, Bi! Akira serius, Kirika ada dimana?” sentak Akira lagi. Perlahan hatinya mulai menyetujui pikiran-pikiran aneh yang berseliweran di benaknya.
            “Kirika…” suara Ibu Kirika tercekat. Terhalang tangisannya. Akira menanti dengan tidak sabar kelanjutan perkataan Ibu Kirika. Ia tak bisa mendengar suaranya, hanya bisa melihat gerakan bibir Ibu Kirika yang bergetar menahan tangis.
            “Kirika… dia…” lagi-lagi suara Ibu Kirika tercekat.
            Mengertilah Akira sekarang. Tumpukan burung kertas warna-warni. Kamar Kirika yang tanpa penghuni. Foto Kirika yang digantungi bunga Krisan. Tangisan Ibu Kirika. Perasaan sesak didadanya. Air mata yang terus meleleh dipipinya. Kirika yang menghilang.
            Dalam hitungan detik tubuh Akira merosot ke lantai. Lututnya lemas, tak kuat menopang tubuhnya. Dengan wajah tak percaya ia menggenggam burung kertas berwarna putih ditangannya. Burung kertas yang dibuatnya untuk Kirika sebagai permintaan maaf.
            Kirika… selamat jalan, teman.

ÿÿÿ
Untuk Akira,
Rasanya pertemuan kita bagaikan mimpi, Akira.
Kirika tak pernah menyangka akan bisa mengenal Akira di sisa hidup Kirika yang sangat singkat ini.
Kirika tak pernah menyangka bisa memiliki teman yang sangat baik seperti Akira di ujung penghabisan napas Kirika.
Aku sangat senang waktu kita bisa menjadi teman dan selalu bersama, Akira.
Kau mengajariku banyak hal yang bahkan Ibu tak ajarkan padaku. Seperti tentang apa itu ‘suka’.
Ya, entah bagaimana caranya, aku bahagia selalu bersamamu dan ingin selalu melihat senyummu. Senyum tulus Akira untuk Kirika. Senyum yang selalu menguatkan Kirika. Senyum yang selalu dinantikan Kirika.
Kirika juga sangat senang saat Akira bilang suka. Tapi, ternyata Kirika salah sangka. Akira suka pada Kirika bukan seperti Kirika suka pada Akira. Akira suka pada orang lain, Haruka.
Seribu burung kertas di kamar Kirika, Kirika buat untuk meminta satu permohonan. “Semoga Akira bahagia bersama Haruka meski tanpa Kirika”
Maaf karena tak pernah memberitahu Akira. Kirika sakit. Kata Ibu jantung Kirika ada kelainan. Entah apa namanya Kirika tak mengerti. Sangat susah untuk diucapkan. Dan itu alasan Kirika tak bisa menjawab pertanyaan akira saat kita pertama bertemu. Bukan Kirika tidak betah ada di sekolah. Tapi Ibu tak pernah membiarkan Kirika sekolah. Dan karena alasan itulah Kirika tak pernah punya teman.
Terimakasih, Akira. Kirika sangat senang memiliki teman sebaik Akira. Terimakasih telah mau menjadi teman Kirika. Akira adalah teman pertama dan terakhir Kirika yang sangaaatt baik.
Salam untuk Haruka, semoga kalian bersama dan berbahagia selamanya.

Salam Perpisahan,
Kirika Kurosuke

            “Selamat jalan, Kirika. Berbahagialah engkau di surga sana,” gumam Akira di tengah linangan air matanya saat ia membaca pesan Kirika yang tertulis di burung kertas putih pemberian Ibu Kirika.
            Kirika, gadis lugu dan manis yang disukai Akira. Gadis yang menjadi teman yang sangat berarti bagi Akira.
            Kini Akira harus melepasnya pergi. Pergi ke tempat yang tak bisa dijangkaunya. Pergi ke tempat dimana Akira tak bisa melihat senyum Kirika lagi. Pergi ke tempat dimana mereka tak bisa bersama lagi. Pergi untuk selama-lamanya.

ÿÿÿ

Akira, aku suka kamu. Kamu juga suka aku, kan?




END

(Karya : Arni Al - Hilmah)